25 Tahun Menjadi Tukang Parkir Di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, Begini kisah hidupnya.

 



Badan kecil juga kurus dan sedikit membungkuk itu tetap berjaga. Kulit yang sudah keriput ditambah gigi yang kini tak lengkap, menjadi bukti bahwa dia sudah tidak lagi muda. Dengan tubuh tua itu, ia gunakan untuk bergerak, berjalan langkah demi langkah, untuk ia bisa kumpulkan pundi-pundi rupiah.

 

              Di bawah payung besar berwarna merah yang tersambung sekaligus dengan meja juga tiang penyangga, ia berlindung di bawahnya. Melindungi tubuh rentannya itu dari teriknya sinar mentari juga rintiknya butiran air hujan yang menerpanya setiap hari. Hanya sebatas kursi yang nampak sedikit reyot sebagai penyangga tubuh tuanya itu dikala lelah. Juga sebuah telepon genggam seadanya, sebagai sumber suara lagu kuno yang terputar untuk menghilangkan rasa bosan dikala menunggu keluar dan masuknya kendaraan.

 

              Sosok tua itu Bapak Tisna namanya. Sudah lebih dari 25 tahun menjadi tukang parkir di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.  Bapak Tisna adalah warga asli Jatinangor yang dahulunya mempunyai rumah yang sekarang dibangun Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad.

 “ Dulu rumah Babe ada di lapangan futsal Neng, dulu mah masih kebon karet, rumah ada di lapangan futsal situ sebelum dibangun Fikom ini. Dulu mah kebon karet disini, Babe kerja di kebon karet ini terus punya rumah inventaris suruh dibawa keluar. Terus awalnya bangunan pertama Unpad Jatinangor itu di pertanian sana cuma satu satunya, dari awal mulai dibangun sampai ambruk lagi. Terus juga dulu itu yang kedokteran kebawah itu dulunya kuburan masal .” Cerita bapak Tisna.

 

              Bapak Tisna ini dahulunya merupakan seorang pekerja di kebun Karet yang sekarang wilayahnya sudah diubah menjadi bangunan bangunan kampus Universitas Padjadjaran. Pada waktu itu karena lahan akan dialaihkan menjadi sebuah perguruan tinggi para penduduk yang tinggal diwilayah itu diharuskan pindah meninggalkan tempat tinggalnya.

 

Pada saat itu warga diberikan uang kompensasi sejumlah tiga ratus delapan puluh ribu rupiah. Karena kebijakan tersebut seluruh warga, tak terkecuali keluarga Pak Tisna pindah dan membeli rumah di sekitaran Jembatan Cincin, yang sekarang di sebelah kiri belakang Universitas Padjadjaran.

“ Setelah disuruh pindah, dikasih uang dulu di Du Dipatiukur sama pemerintah, beli rumah di Cincin pake uang itu, segitu mah cukup jaman dulu dapet rumah, ya cukup lah.”tutur Pak Tisna.

              Dari awal berdirinya fakultas fakultas yang ada di Universitas, Pak Tisna awalnya bekerja sebagai tukang parkir di Fakultas Ilmu Budaya. Namun hanya beberapa bulan saja, lalu ia pindah ke Fakultas Ilmu Komunikasi. Pindahnya Pak Tisna bukan tanpa alasan, ada sebuah kebijakan yang memberatkan Pak Tisna sebagai tukang parkir di Fakultas Ilmu Budaya.

“ Dulu babe pertamanya, markir di sastra tapi disana borongan jadi setahun sekali setornya, Babe ga bisa, kan mahasiswa ada liburnya tiga bulan, jadi Babe ga mampu kalo tahunan.”kata Pak Tisna.

 

              Kemudian setelah pindah dari FIB Pak Tisna akhirnya pindah mejadi tukang parkir di Fakultas Ilmu Komunikasi. dari dulu hingga sekarang hampir 25 tahun sudah Pak Tisna menjadi tukang parkir di Fikom. Dari pagi hingga sore bahkan malam Pak Tisna bekerja di gerbang pintu keluar parkir motor Fikom.

 

Tak ada jam tertentu beliau pulang setiap hari menyesuaikan kepulangan para mahasiswa. Dan hanya di hari Minggu Pak Tisna libur menjaga motor motor di kampus. Di masa senjanya, Pak Tisna jika sedang berlibur sebagai tukang parkir hanya menghabiskan waktunya bercocok tanam di kebunnya.

 

              Bagi Pak Tisna, pekerjaannya sebagai tukang parkir tidak semudah yang dibayangkan kebanyakan orang. Sebagai tukang parkir ia memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga sepeda motor dan apa yang melekat di dalamnya. Bila terjadi kehilangan, dan korban melaporkan ke polisi Pak Tisna harus memberikan keterangannya di kantor polisi.

“Kemarin aja Neng, anak Fisip parkir disini hpnya ketinggalan di motor, terus hilang Babe harus ngasih keterangan di kantor polisi. Kadang kan anak-anak suka buru-buru mau masuk jadi aja lupa dan ketinggalan, kunci suka lupa nyabut, barang ketinggalan, kan Babe yang ditanyain. Jadi jaga disini ga gampang Neng tanggung jawabnya besar ga cuma nerima uang aja.”

 

              Menjadi tukang parkir sudah menjadi pekerjaan pokok bagi Pak Tisna. Dalam sehari ia memperoleh 150-200 ribu rupiah, itu pun hasil kotor. Dari hasil uang parkir itu masih dibagi-bagikan ke beberapa pihak ada untuk uang makan satpam, pihak fikom, dan untuk Pak Tisna senidiri.

“ Sehari yah bisa 150 sampai 200 ribu, itu pun paling 80 ribu setor ke fikom, terus ngasih uang makan ke satpam. Sehari kalo satpamnya dua paling 20 ribu sampai 30 ribu buat makan sama kopi satpam, nanti kepotong uang Babe makan siangnya. Paling ya 70-80 ribu bersih bisa dibawa ke rumah.

 

              Pak Tisna sebagai kepala keluarga yang dulu harus menafkahi istri dan enam anaknya. Namun kini selesai sudah kewajibannya menafkahi enam anaknya dari hasil ia menjadi tukang parkir. Dan dua dari enam anaknya berhasil berkuliah sampai selesai di Universitas Padjadjaran. Saat ini enam anak-anaknya sudah membangun keluarga sendiri, dan kembali seperti semula Pak Tisna hanya menghabiskan hari harinya bersama sang istri tercinta.

Komentar